Selasa, 23 Maret 2010

Perbedaan Sebab dan Alasan

Tentu saja, alasan tidak selalu sama dengan sebab. Tetapi tidak semua manajer tahu apa perbedaan antara sebab dan alasan. Bahkan, seringkali para manajer itu mencampur aduk sebab dengan alasan seolah kedua hal itu bisa disantap layaknya gado-gado. Coba simak dialog ini:

Pak Bos: “Pak Ale, kenapa you terlambat?

Oom Ale: “Enng, anu… maaf pak. Tadi ada macet di tol pak.”

Macet? Mungkin ada benarnya juga. Di Indonesia, jalan tol bukan jaminan mutu untuk lalu lintas yang lancar dan berjaya. Setiap pagi Oom Ale harus berjibaku dengan kemacetan di jalan tol. Supaya terhindar dari kemacetan, Oom Ale harus berangkat pagi-pagi. Itu berarti harus bangun lebih pagi lagi. Sedangkan pagi ini, gara-gara semalam nonton bola, Oom Ale bangun kesiangan dan merasakan siksaan macet jalan tol. Efek berantainya: Oom Ale terlambat sampai di kantor dan harus menatap wajah Pak Bos yang lagi sewot. Mari kita teruskan dialog Oom Ale dengan Pak Bos.

Pak Bos: “Lo, tadi pagi saya lewat situ jam setengah tujuh lancar-lancar saja tuh? Nggak ada macet.”

Oom Ale: “Oh ya pak?? Wah, tadi macet kok pak.” (jreng!)

Pak Bos: “Memangnya you masuk tol jam berapa?”

Oom Ale: “Enng, anu… jam… anu.. se.. see… setengah delapan pak.” (tooeeng.. tooeeng.. tooeng..)

Pak Bos: “Ya pantesan aja! Mestinya you masuk tol jam setengah tujuh. You kan tahu, kalau lewat jam tujuh jalan tol pasti macet. Ok, be honest, kena apa you terlambat?”

Oom Ale: “Anu, pak. Maaf pak. Tadi saya bangun kesiangan. Semalam nonton bola pak.”

Nah… jelas bukan perbedaan antara sebab dan alasan? Oom Ale terlambat disebabkan karena Oom Ale bangun kesiangan. Sedangkan alasan keterlambatan Oom Ale adalah macet di jalan tol. Dua hal ini tidak sama, tetapi dalam situasi genting seringkali tidak bisa dibedakan.

“Sebab” bukanlah realita tetapi kumpulan fakta untuk menjelaskan suatu kejadian. Meski tidak sepenuhnya benar, “sebab” cenderung obyektif dan tak berpretensi apa-apa. Sedangkan “alasan” adalah penafsiran atas fakta sesuai kehendak empunya; “alasan” cenderung subyektif bahkan tidak jujur.

Maksudnya begini: Oom Ale bisa memilih satu fakta dari sekian banyak fakta yang ada untuk menjawab pertanyaan bos kenapa pagi ini Oom Ale datang terlambat. Tentu saja, fakta yang Oom Ale pilih adalah yang paling mendukung tujuan Oom Ale. Kalau Oom Ale jawab “bangun kesiangan”, wah Oom Ale bisa dimaki bos. Sebaiknya Oom Ale jawab “macet di tol” karena lebih aman. Kalau Bos bisa dikibulin dan percaya begitu saja dengan alasan ini, maka silakan bos marah-marah sama jalan tol.

***

Contoh lain.

Pak Bos: “Kenapa laporan keuangan bulan ini terlambat?”

Manajer Keuangan 1 (takut dimarahi bos): “Maaf pak, dua hari ini saya sakit parah. Sebenarnya sekarang pun saya masih belum sembuh betul tapi saya paksakan masuk supaya bisa menyelesaikan laporan untuk Pak Bos. Uhuk, uhuk, uhuk, sroott, sroott.” (baca: bos, kasihani saya dong, kalau bisa laporannya diundur tiga hari lagi ya?)

Manajer Keuangan 2 (lagi jengkel sama manajer gudang): Lha, ini gara-gara manajer gudang yang terlambat stok opname. (baca: ayo bos! Sikat si manajer gudang yang nyebelin itu)

Manajer Keuangan 3 (ingin dipuji Pak Bos): Lho, minggu lalu kan saya sibuk diminta bapak untuk menyiapkan proposal untuk tender, yang akhirnya kita menangkan itu. (baca: jangan merintah aja bos! Bagi bonusnya dong bos!)

Manajer Keuangan 4 (bingung mau njawab apa): Staf saya goblok semua bos! Jurnal mereka salah melulu. (baca: berarti gua juga goblok dong?)

Lain manajer, lain juga jawabannya. Lain orang, lain juga tujuannya. Itu kenapa nenek moyang kita berhasil menemukan idiom-idiom penting: “seribu satu alasan”, “cari-cari alasan”, atau “alasan gombal”.

Ya.. ya.. yaa “alasan” tidak melulu digali dari sebab-sebab atau fakta-fakta. Dalam dunia manajemen seringkali “alasan” digali dari permainan imajinasi dan khayalan. Semakin jelaslah bahwa “alasan” tidak selalu berarti “sebab”.

Konon manajemen yang baik bertindak berdasarkan fakta dan data, terutama yang bisa diuji dan diukur. Dengan demikian, manajemen bisa bertindak secara rasional. Itu berarti manajemen tidak membutuhkan “alasan”. Untuk memecahkan masalah manajemen membutuhkan “sebab” bukan alasan.

Tetapi perlu disadari bahwa yang namanya manajemen, selain berupa kumpulan prosedur dan knowledge, dia juga kumpulan orang dengan beragam tabiat, sifat dan motif. Prosedur dan knowledge melahirkan data, sedangkan manusia pandai mengemukakan alasan. Maka, mau tak mau manajemen juga harus pandai menghandle “alasan”. Di situlah asyiknya bekerja; seninya manajemen; indahnya kehidupan di kantor.

Manajemen yang baik selalu bisa membedakan mana sebab mana alasan. Pemimpin yang cerdik mampu melepaskan diri dari jebakan “seribu satu alasan” dan melihat dengan jernih apa yang menjadi penyebab suatu masalah.

***

Jadi, apa jawaban kita pagi ini? Sebab? Atau, alasan? Apa pun alasannya, telat adalah telat. Akui saja.